Kasus bunuh diri dikalangan anak muda di Aceh kembali terulang, kali ini menimpa dua orang wanita muda di Banda Aceh dan juga di Aceh Besar. Adapun kejadian yang cukup memilukan ini mengundang perhatian banyak pihak teehadap bagaimana kesehatan mental pada kalangan anak muda di Aceh.

Kasus pertama terjadi pada seorang mahasiswi yang berusia sekitar 19 tahun yang tinggal di kawasan Lampeudaya, Aceh Besar dan berasal dari Kabupaten Aceh Barat Daya, ia ditemukan sudah dalam keadaan meninggal dunia dengan kondisi leher yang susah terikat.

Tak berselang lama terjadi lagi kasus serupa di kawasan Bandaraya Kota Banda Aceh, seorang wanita muda berusia 26 ditemukan meninggal dengan kondisi leher sudah terikat seutas kain yang diikat di kosen pintu kamarnya.

Dari kedua kasus tersebut saat ini memang masih belum final dikarenalan masih dalam penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, namun kesimpulan sementara dapat dipastikan bahwa medua korban nekat mengakhiri hidup mereka sendiri.

Dari kedua kasus ini, seorang Psikolog dari Fakultas Psikologi, Universitas Muhammasiyah Aceh Aceh (Ummuha) Endang Setyaningsih, S.Psi., M.Pd., Psikolog berpendapat bahwa kasus bunuh diri perlu menjadi perhatian seriuas semua pihak, ia menekankan bahwa semua elemen harus terlibat mulai dari keluarga, masyarakat, komunitas, lembaga pendidikan hingga pemerintah.

Ia mengatakan bahwa kasus semacam ini mencerminkan kompleksitas persoalan yang tengah kita hadapi. Banyak sekali faktor yang bisa menjadi pemicu. Adapun penyebabnya bisa terjadi berbagai tekanan seperti masalah pribadi, kondisi ekonomi, beban akademik yang berat seperti skripsi yang belum selesai, serta tekanan dari lingkungan sosial bisa menjadi pemicu utama.

Endang berpendapat bahwa kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, merasa kesepian, atau mengalami isolasi sosial, memiliki risiko tinggi mengalami gangguan kesehatan mental. Ketika dukungan sosial yang didapat terlalu sedikit, maka situasinya bisa memburuk.

Endang juga menggarisbawahi penyebab lain seperti konflik keluarga, pengalaman traumatis (termasuk kekerasan atau pelecehan), serta gangguan psikologis seperti depresi dan gangguan kecemasan. Di sisi lain, akses terhadap layanan kesehatan mental juga masih terbatas.

Ia menyatakan bahwa banyak Perguruan Tinggi yang belum menyediakan layanan konseling yang memadai untuk dapat diakses oleh mahasiswa. Padahal layanan ini memang sangat penting untuk didapatkan yang disana menjadi tempat yang bisa diakses oleh mahasiswa untuk mencari bantuan.

Menurutnya, mencegah peristiwa serupa membutuhkan kerja sama lintas sektor. Kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga kesehatan mental harus terus diperkuat, terutama di lingkungan kampus karena kasus semacam ini bukan hanya masalah individu, tetapi sinyal bahwa kita harus lebih peduli.

Kita perlu membangun sistem dukungan psikologis yang kuat, memperluas edukasi, dan memastikan semua mahasiswa punya akses terhadap layanan bantuan. (Humas)