Peristiwa memilukan terjadi di Provinsi Jawa Timur ketika sebuah bangunan mushola di sebuah pasantren ambruk saat para santri tengah melaksanakan ibadah salat. Insiden tersebut menelan korban jiwa dan luka-luka dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan data terakhir yang dihimpun, sebanyak 67 orang dilaporkan meninggal dunia, sementara 104 lainnya selamat namun mengalami luka-luka akibat kejadian tersebut.
Menanggapi peristiwa ini, Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha) dari Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur, Ar. Teuku Eka Panny Hadinata, S.T., M.T., IAI, menjelaskan bahwa apa pun penyebab ambruknya bangunan mushola tersebut, baik karena perencanaan yang tidak matang, kegagalan struktur, maupun faktor lainnya harus menjadi pengingat dan pelajaran berharga bagi semua pihak.
“Sejatinya, proses pembangunan harus benar-benar dilakukan dengan mengikuti standar serta prosedur teknis yang telah ditetapkan. Selain itu, proses perencanaan wajib melibatkan tenaga perancang profesional yang memiliki kualifikasi dan sertifikasi keahlian di bidangnya, dalam hal ini adalah arsitek bersertifikat,” ujar Teuku Eka Panny.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ketentuan tersebut telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek. Sementara itu, untuk bangunan dengan dua lantai atau lebih, diperlukan penghitungan struktur bangunan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 beserta turunannya.
“Penghitungan struktur wajib dilakukan oleh tenaga profesional yang memiliki sertifikat keahlian. Hal ini sangat penting, terutama bila lokasi pembangunan berada di kawasan rawan gempa. Perhitungan harus dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan gaya atau tekanan akibat aktivitas seismik,” jelasnya.
Menurutnya, dalam praktik di lapangan, tahap perencanaan dan perancangan kerap dianggap sepele. Tak jarang, desain yang telah disusun oleh arsitek profesional tidak diikuti secara konsisten dalam proses pembangunan.
“Apalagi saat ini, banyak orang dengan mudah menggunakan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) untuk membuat desain tanpa memahami prinsip dan proses perancangan yang benar. Ketidaktahuan serta pengabaian terhadap standar dan prosedur pembangunan inilah yang sering kali berujung pada bencana,” ungkapnya.
Teuku Eka Panny berharap agar setiap kegiatan pembangunan, baik dalam tahap perencanaan maupun pelaksanaan dapat dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan, regulasi, serta etika profesi yang berlaku.
“Kita hanya bisa berikhtiar dengan berusaha menjalankan segala sesuatu sesuai aturan dan prosedur yang telah ditetapkan. Semoga tragedi di Jawa Timur menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk lebih mengedepankan keselamatan, profesionalisme, dan tanggung jawab dalam setiap pembangunan di masa mendatang,” pungkasnya. (Humas)