Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah wilayah di Aceh diguyur hujan dengan intensitas tinggi. Di beberapa tempat, genangan air bahkan menimbulkan gangguan aktivitas warga dan memicu longsor di daerah perbukitan. Fenomena ini menandai bahwa Aceh telah memasuki musim penghujan.
Indonesia mengalami dua musim utama setiap tahun: musim kemarau dan musim hujan, yang berganti arah sesuai tiupan angin monsun. Saat ini, angin bertiup dari Samudra Hindia menuju wilayah Indonesia, membawa uap air yang melimpah dan berpotensi menurunkan hujan lebat di bagian barat Nusantara, termasuk Aceh.
Selain itu, suhu permukaan laut di sekitar Aceh dan Samudra Hindia yang lebih hangat turut memperbanyak uap air di atmosfer. Kondisi geografis Aceh yang berbukit dan dikelilingi laut juga membuat awan hujan lebih mudah terbentuk dan tertahan di atas daratan.
Menurut Akademisi Prodi Manajemen Bencana, Fakultas Teknik UniversitasMuhammadiyah Aceh (Unmuha), Risma Sunarti. S.Si, M.Si, kombinasi faktor tersebut menyebabkan curah hujan di Aceh diprediksi meningkat dalam beberapa bulan ke depan. Pemerintah dan masyarakat pun diminta meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi banjir, tanah longsor, serta angin kencang di sejumlah kabupaten dan kota
“Secara topografi, Aceh memiliki kombinasi pegunungan, lembah, dan dataran rendah, dengan banyak daerah aliran sungai (DAS) besar seperti Krueng Aceh, Krueng Peusangan, dan Krueng Meureudu. Kondisi ini membuat wilayah-wilayah di sepanjang aliran sungai tersebut rentan terhadap genangan air dan banjir bandang, terutama saat curah hujan tinggi,” ujar Risma.
Karena itu, Pemerintah Aceh perlu memastikan agar masyarakat tetap aman, tangguh, dan produktif di tengah kondisi cuaca ekstrem.
Pemerintah menyusun dan memperbarui peta risiko serta peta genangan banjir di seluruh kabupaten/kota.
Selanjutnya, pengendalian banjir harus diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan daerah, seperti RTRW, RPJMD, dan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (RKPD).
Pemerintah juga memperketat pengaturan tata ruang dan perizinan, agar pemanfaatan lahan sesuai peruntukannya. Kawasan hutan lindung harus tetap dijaga, dan pembangunan di sempadan sungai maupun lahan resapan air harus dihindari demi menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah luapan air.
Perencanaan tata ruang yang adaptif, dengan melarang pembangunan di daerah sempadan sungai atau kawasan resapan air.
Penataan Daerah Aliran Sungai (DAS) agar aliran air tetap lancar dan tidak terjadi penyempitan atau pendangkalan, Peningkatan infrastruktur pengendali banjir, seperti tanggul, waduk, embung, dan drainase perkotaan.
Di kawasan perkotaan seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Meulaboh, peningkatan sistem drainase menjadi prioritas agar air hujan tidak menggenangi permukiman dan pusat kegiatan ekonomi.
Di wilayah hulu, pemerintah juga mendorong reboisasi dan penghijauan pada kawasan-kawasan kritis, khususnya di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
Upaya ini penting untuk menjaga daya serap tanah, memperlambat aliran permukaan, dan mengurangi risiko banjir bandang yang kerap terjadi di wilayah hilir.
Penyediaan sistem peringatan dini (early warning system) yang menjangkau hingga ke tingkat gampong. Aspek penting lainnya adalah peningkatan kesadaran masyarakat melalui kegiatan edukasi, sosialisasi, dan pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) di wilayah-wilayah rawan banjir.
Pemerintah juga menyusun rencana kontinjensi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan banjir, sehingga seluruh pihak — dari pemerintah daerah hingga masyarakat — dapat bergerak cepat dan terkoordinasi saat bencana terjadi.
Sistem Peringatan dan Edukasi
Berkelanjutan juga harus disertai dengan peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat. Adaptasi Berbasis Pengetahuan dan Teknologi. “Peningkatan literasi bencana dan iklim menjadi pondasi penting dalam membangun ketangguhan. Pemerintah daerah perlu mendorong pemanfaatan teknologi informasi, seperti sistem pemantauan debit air secara real-time, aplikasi peringatan dini, dan pusat data risiko banjir yang dapat diakses Masyarakat,” tegasnya.
Dengan kebijakan yang berpihak pada keselamatan dan keberlanjutan, pemerintah menjadi motor utama dalam membangun sistem perlindungan bencana yang efektif.
Peran Masyarakat
Menururutnya, masyarakat menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan mitigasi dan adaptasi di lapangan. Tindakan-tindakan sederhana seperti tidak membuang sampah ke sungai, menanam pohon di sekitar rumah, menjaga kebersihan saluran air, serta membangun rumah yang aman dari genangan dapat memberi dampak besar dalam mengurangi risiko banjir.
Selain itu, partisipasi aktif dalam kegiatan gotong royong, pelatihan kebencanaan, dan pembentukan kelompok siaga banjir menjadi bentuk nyata solidaritas dan tanggung jawab bersama.
“Langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh warga di daerah rawan banji seperti meninggikan lantai rumah, membuat pintu dan jendela tahan air. Menyiapkan tangga darurat atau rak tinggi untuk menyimpan barang penting,” katanya.
Membuat taman dan sumur resapan di halaman rumah. Menyimpan dokumen penting dalam wadah kedap air. Menanam pohon dan tidak menutup seluruh tanah dengan semen, agar air bisa meresap. Membentuk kelompok siaga banjir di tingkat desa atau dusun.
Sinergi Pemerintah dan Masyarakat
Mitigasi dan adaptasi banjir tidak akan berhasil jika berjalan sendiri-sendiri. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan lembaga pendidikan menjadi kunci keberhasilan.
Pemerintah menyediakan kebijakan, fasilitas, dan sistem pendukung; sementara masyarakat menjadi pelaku utama yang menjaga, menerapkan, dan melanjutkan upaya tersebut di tingkat lokal.
“Mitigasi dan adaptasi banjir bukan hanya kewajiban teknis, melainkan wujud kesadaran bersama untuk menjaga kehidupan,” ujarnya.
Dengan perencanaan yang baik, kepemimpinan yang tangguh, dan partisipasi aktif masyarakat, kita dapat membangun Aceh yang lebih aman, berdaya, dan berkelanjutan di tengah tantangan perubahan iklim.” tutupnya. (Humas)

