Pekan Menyusui Dunia (World Breastfeeding Week) setiap 1–7 Agustus selalu mengingatkan kita bahwa ASI eksklusif bukan sekadar pilihan, tetapi hak setiap bayi.

Namun, di beberapa daerah, keputusan menyusui sering dipengaruhi oleh budaya dan kepercayaan yang turun-temurun.

Salah satu temuan menarik dari penelitian RisetMu 2025 Universitas Muhammadiyah Aceh di Puskesmas Buntul Kemumu, Kabupaten Bener Meriah, adalah keyakinan masyarakat tentang “kuman Dena”.

Beberapa ibu menghentikan atau mengurangi pemberian ASI setelah merasakan gatal pada payudara atau menemukan ruam di pipi bayi usai menyusu.

Kondisi ini dianggap sebagai tanda bahwa ASI mereka mengandung kuman yang berbahaya.

Padahal, secara medis, rasa gatal pada payudara biasanya hanya efek normal dari proses menyusui, seperti perubahan hormon atau kulit yang kering.

Sementara ruam pada pipi bayi sering kali disebabkan oleh alergi ringan atau kelembapan, bukan karena infeksi dari ASI.

“Allah menciptakan kesempurnaan pada ASI. Pada lima menit pertama, ASI kaya air dan glukosa untuk menyegarkan bayi, dan setelah sepuluh menit, ASI menjadi kaya lemak yang sangat penting untuk pertumbuhan bayi. Karena itu, menyusui sebaiknya dilakukan lebih dari sepuluh menit di setiap payudara,” jelas Dr. Maidar, M.Kes, ketua tim peneliti.

Perubahan persepsi ini mulai terjadi berkat dukungan Badan Kesejahteraan Mesjid (BKM), tenaga kesehatan, dan tokoh masyarakat yang aktif memberikan edukasi berbasis bukti namun tetap menghargai kearifan lokal.

Meski begitu, Kabid Kesmas Dinas Kesehatan Bener Meriah mengungkap tantangan baru: edukasi dari petugas sering goyah saat ibu kembali ke rumah dan mendapat saran berbeda dari nenek atau mertua.

“Inilah alasan kami mengembangkan inovasi kelas nenek balita, agar semua pihak yang berpengaruh pada pengasuhan bayi memahami pesan menyusui yang benar,” ujarnya.

Temuan ini bukan sekadar cerita lokal; ini adalah pesan untuk semua: mitos bisa mengubah perilaku, tetapi ilmu bisa mengembalikannya ke jalur yang benar.

Dengan tagline “Rekonstruksi Budaya, Dukung ASI Eksklusif”, penelitian ini bukan hanya berhenti pada laporan, tetapi sedang diarahkan untuk dipublikasikan di jurnal internasional agar menjadi rujukan global.

Saat kita bersama-sama meluruskan mitos, kita bukan hanya memberi makan bayi, tapi juga memberi harapan untuk masa depan yang lebih sehat. (*)