UNICEF Perwakilan Aceh bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha) dan Baitul Mal Kota Banda Aceh menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Penguatan Konsep Pengawasan Perwalian Anak Yatim untuk Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pengawasan Perwalian”. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya penyusunan kebijakan daerah terkait sistem pengawasan perwalian anak yatim sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak anak.

Selama dua hari pelaksanaan di Ballroom Hotel Ayani Banda Aceh, pada 6-7 November 2025, kegiatan ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, di antaranya perwakilan Baitul Mal Kota Banda Aceh, kepala desa, Tuha Peut, serta perwakilan Baitul Mal Gampong dari seluruh wilayah Kota Banda Aceh.

Forum ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman peserta mengenai tata kelola, tanggung jawab, serta mekanisme pengawasan terhadap perwalian anak yatim agar terbentuk sistem yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.

Selain itu, kegiatan ini menjadi momentum penting untuk mengintegrasikan peran pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam memastikan perlindungan dan kesejahteraan anak yatim di Aceh.

Kepala Perwakilan UNICEF Aceh yang diwakili oleh Hasnani Rangkuti, Ph.D., dalam sambutannya menegaskan pentingnya kolaborasi antara UNICEF, Baitul Mal Kota Banda Aceh, dan lembaga terkait di tingkat provinsi hingga gampong dalam memastikan sistem pengawasan perwalian yang efektif.

Menurutnya, UNICEF memiliki mandat global untuk menjamin pemenuhan hak setiap anak tanpa diskriminasi—baik anak laki-laki maupun perempuan, yatim, piatu, maupun yang memiliki orang tua lengkap.

“Hak-hak anak mencakup hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, memperoleh pendidikan yang layak hingga perguruan tinggi, serta berkesempatan menjadi sumber daya manusia yang unggul dan berkontribusi bagi pembangunan Aceh,” ujarnya.

Hasnani menambahkan bahwa sejak tahun sebelumnya, UNICEF telah menggagas inisiatif penguatan sistem pengawasan perwalian anak yatim bersama Baitul Mal Aceh di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kota Banda Aceh menjadi salah satu dari empat daerah percontohan (pilot project) dalam implementasi program ini.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya memperjelas konsep perwalian serta peran masing-masing lembaga—mulai dari Baitul Mal Kota dan Gampong, Tuha Peut, hingga Keuchik—dalam memastikan kesejahteraan anak yatim.

“Kita ingin memastikan bahwa anak-anak yatim di gampong tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Jika mereka memiliki harta warisan, harta tersebut harus terpelihara dengan baik hingga anak mencapai usia dewasa, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pendidikan atau kebutuhan hidup mereka, bukan habis sebelum waktunya,” jelasnya.

Selain itu, pelatihan ini juga diarahkan untuk mengembangkan alat pemantauan (monitoring tools) yang dapat membantu perancangan program berbasis data, agar pengawasan terhadap hak dan aset anak yatim dapat dilakukan secara terukur dan berkelanjutan.

Sementara itu, Kepala Baitul Mal Kota Banda Aceh, Dr. Tgk. Yusuf Al Qardhawy, M.H., dalam sambutannya menjelaskan bahwa sesuai Qanun, Ketua Baitul Mal Gampong dijabat oleh Tengku Imum, dengan Keuchik berperan penting sebagai penasihat dalam pelaksanaan fungsi lembaga tersebut.

Ia menjabarkan bahwa salah satu tugas utama Baitul Mal Gampong adalah mengelola zakat dan harta keagamaan lainnya, termasuk aset-aset yang tidak bertuan atau belum memiliki ahli waris yang sah. Dalam praktiknya, aset tersebut baru dapat menjadi milik Baitul Mal setelah mendapatkan penetapan resmi dari Mahkamah Syariah.

Selain itu, Baitul Mal Gampong juga berperan dalam inventarisasi mustahik zakat, pendataan anak yatim dan walinya, serta pelaporan harta wakaf dan keagamaan kepada Baitul Mal Kota.

“Ke depan, peran Baitul Mal Gampong akan semakin besar. Pendistribusian bantuan pangan, misalnya, akan melibatkan rekomendasi dari Baitul Mal Gampong sebelum Keuchik mengeluarkan surat resmi. Kami juga akan mengganti surat keterangan ‘tidak mampu’ menjadi surat keterangan ‘fakir’ atau ‘miskin’ untuk memastikan kejelasan data penerima manfaat,” jelasnya.

Lebih lanjut, Yusuf menambahkan bahwa Baitul Mal Gampong memiliki tanggung jawab moral yang besar, termasuk menjadi wali sementara bagi anak yatim yang belum baligh, belum menikah, dan memiliki harta namun tidak lagi memiliki wali yang sah. Proses penetapan wali dilakukan melalui Baitul Mal Kota yang kemudian mengajukan permohonan resmi ke Mahkamah Syariah.

“Pekerjaan Baitul Mal Gampong ini sungguh mulia karena menyangkut masa depan anak-anak yatim dan pengelolaan harta umat. Oleh karena itu, dibutuhkan integritas dan komitmen kuat dalam menjalankan amanah ini,” tutupnya.