Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha) menyelenggarakan International Guest Lecture bertema “Quo Vadis Handling of Rohingya Ethnic Group in the Region” pada Kamis (21/08/2025). Acara berlangsung di Ruang Rapat Lantai II Rektorat Unmuha dan dihadiri 75 peserta dari berbagai kalangan.

Kegiatan ini digelar sebagai forum edukasi sekaligus ruang berbagi informasi mengenai isu pengungsi Rohingya, yang hingga kini masih menjadi sorotan publik, khususnya di Aceh dan Indonesia secara umum.

Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Unmuha, Dr. Mainita, S.H., M.H.Kes., menegaskan bahwa permasalahan Rohingya dapat ditinjau dari beragam aspek, mulai dari politik, hukum, sosial, ekonomi, hingga agama.
“Melalui forum ini, diharapkan peserta memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif serta informasi yang akurat,” ujarnya.

Dr. Mainita juga menambahkan bahwa etnis Rohingya merupakan kelompok minoritas dari Myanmar yang sejak lama mengalami kekerasan sistematis, penindasan, hingga pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., M.Ag., Ph.D., menjelaskan bahwa kondisi tersebut telah memaksa ribuan pengungsi Rohingya mencari perlindungan ke berbagai negara, termasuk Malaysia, Thailand, Indonesia, hingga mendarat di Aceh dan sejumlah provinsi lainnya.

“Aceh menjadi salah satu wilayah terdepan yang menerima gelombang pengungsi Rohingya sejak 2009, saat kelompok pertama mendarat di Sabang dan dikenal dengan istilah ‘Manusia Perahu’,” ungkap Prof. Heru.

Namun, ia juga menyoroti bahwa semakin meningkatnya kedatangan pengungsi justru memicu penolakan dari sebagian masyarakat. Media massa dan media sosial bahkan kerap memperlihatkan perdebatan sengit terkait keberadaan mereka.

Pandangan serupa disampaikan oleh Dr. Mahbubul Haque, Dosen Senior Fakultas Hukum & Hubungan Internasional Universitas Sultan Zainal Abidin (UNISZA) Malaysia. Ia menilai krisis Rohingya merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM paling serius di abad ini.

“Selain terusir secara paksa dari tanah kelahiran mereka di Myanmar, para pengungsi Rohingya juga menghadapi diskriminasi, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, serta ketidakpastian status hukum di negara-negara tujuan,” jelas Mahbubul.

Ia menegaskan, krisis kemanusiaan ini sudah lama menjadi perhatian dunia internasional, sehingga perlu dikaji lebih dalam untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan. (Humas)