Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha) menginisiasi langkah strategis melalui kolaborasi dengan UNICEF dan Baitul Mal Kota Banda Aceh (BMK) dalam penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) serta Rapat Koordinasi Program Perlindungan Anak Rentan.

Forum ini menjadi wadah diskursus bagi pemangku kepentingan lintas sektor untuk membedah kompleksitas isu kerentanan anak di Banda Aceh—mulai dari kasus penelantaran, anak yatim, putus sekolah, hingga korban kekerasan dan tekanan sosial.

Kegiatan ini merefleksikan dedikasi berkelanjutan UNICEF dalam mengawal pemenuhan hak asasi anak secara universal, termasuk di wilayah Aceh.

Dalam sambutannya, Hasnani Rangkuti dari UNICEF menegaskan prinsip inklusivitas dalam perlindungan anak. Ia menekankan bahwa intervensi kemanusiaan UNICEF tidak mengenal sekat demografis, latar belakang etnis, maupun strata sosial-ekonomi.

“Setiap anak, di manapun mereka berada, dari keluarga manapun mereka berasal—baik yang berkecukupan maupun yang prasejahtera—memiliki hak yang setara untuk dilindungi, tumbuh, dan berkembang. Mari kita pastikan layanan dan perlindungan kita menjangkau setiap jiwa tanpa terkecuali,” kata Hasnani.

Senada dengan hal tersebut, Ketua BMK Aceh, Dr. Tgk. Yusuf Al-Qardhawy, MH., memaparkan pendekatan empiris yang dilakukan lembaganya.

“BMK secara aktif melakukan peninjauan lapangan (field assessment) untuk memvalidasi kondisi faktual anak-anak rentan, serta telah merancang skema bantuan yang responsif terhadap kebutuhan mereka,” ujarnya.

Diskusi semakin mendalam dengan paparan Dr. Mizaj Iskandar, L.C., L.L.M., yang menyoroti perspektif teologis dan yuridis. Secara teologis, ia menggarisbawahi urgensi perlindungan anak yatim sebagai manifestasi ketaatan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Secara yuridis, Dr. Mizaj menguraikan mandat legal Baitul Mal yang tertuang dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) serta Qanun No. 10/2018 dan Qanun No. 3/2021. Regulasi ini sejatinya memperluas kewenangan lembaga hingga mencakup aspek perwalian anak.

Namun, ia mencatat bahwa implementasi perwalian sebagai isu strategis masih menghadapi tantangan struktural, meliputi keterbatasan validitas data, kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), serta integrasi lintas sektor yang belum optimal.

Sebagai konklusi, forum menyepakati bahwa penanganan kerentanan anak tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan pendekatan holistik dan kolaboratif untuk menciptakan dampak yang signifikan.

Melalui sinergi antara BMK, Pemerintah Kota, akademisi Unmuha, dan dukungan teknis dari UNICEF, diharapkan kerangka perlindungan anak di Banda Aceh dapat berjalan lebih efektif, sistematis, dan berkelanjutan demi menekan angka kerentanan di masa depan. (Humas)